Jumat, 08 Juli 2011

Sekilas Tentang Liburan Sastra di Pesantren #6 Slideshow

Sekilas Tentang Liburan Sastra di Pesantren #6 Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Sekilas Tentang Liburan Sastra di Pesantren #6 Slideshow ★ to Yogyakarta. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

Rabu, 22 Juni 2011

USTADZAH ERI DALAM DIARY

“Zak, Sampean ada waktu nggak?” Tanya Haidar ke Rozak, sesaat setelah mereka selesai takror.
“Sekarang?” Jawab Rozak balik bertanya.
“Iya sekarang!!!” Haidar mengangguk.
“Kalau sebentar sih ada, soalnya jam dua belas nanti aku harus ke makam.”
“Kalau begitu ke kantin yuk, kebetulan aku sedang ada rezeki, sekalian aku mau cerita.”
“Cerita? Cerita apaan?”
“Yah pokoknya cerita.”
“Ya udah di sini saja ceritanya.”
“Eit, jangan di sini donk! Di kantin saja sambil ngopi yuk?” Tawar Haidar.
“Oke, ayolah...” Jawab Rozak dengan semangat sekaligus mengakhiri obrolan mereka di kamarnya.
Kamar nomor 3 di asrama Al-Ghozalie yang sangat sederhana. Lantainya hanya beralaskan karpet plastik berwarna merah yang juga sekaligus dijadikan alas tidur. Tak ada bantal dan selimut. Seperti inilah kehidupan santri Pondok Pesantren Ummul Quro’, meskipun penuh dengan kesederhanaan tetapi tidak mengurangi semangat mereka untuk menggali mutiara-mutiara keilmuan pada para Kiai dan Guru-guru.
Haidar dan Rozak berjalan menuju kantin. Jika dihitung dengan jam, kemungkinan hanya butuh waktu 3 menit untuk sampai di warung pondok tersebut. Kantin masih sepi, hanya beberapa santri yang terlihat karena memang bertugas jaga. Mereka berdua jadi lebih lelusa untuk memilih meja. Haidar memilih meja paling ujung yang sepi dan dekat jendela. Kantin tersebut bangunannya pendek sehingga jika waktu-waktu jam jajan santri, ruang penuh, maka suhu udaranya meningkat dan membuat gerah. Maklum, belum punya alat pengatur suhu, sehingga kebanyakan santri yang berkunjung akan memilih tempat yang dekat dengan AC, yang kepanjangan bahasa Jawanya Angin Cendela.    
“Sampean kopinya apa, Zak?” Tawar Haidar.
“Aku nggak ngopi, teh manis aja.” Jawab Rozak.
Yo wis nek ngono, Kang, teh manis sama coffeemix satu. Pakai gelas kecil aja ya...!” kata Haidar kepada santri yang menjaga kantin.
Nggih, Kang, sekedap.” Balas santri tersebut dengan bahasa Jawa yang ramah.
“Sampean nggak makan, Zak?” Tawarnya lagi.
“Nggak ah, masih kenyang. Ini aja.” Jawabnya. Tangan kanannya mencomot sepotong gorengan di piring.
“Kok ngupat-tahu begitu, ada yang penting ya?” Rozak kembali mengarahkan ke maksud dan tujuan Haidar yang tiba-tiba mengajaknya ke kantin.
“Ah, enggak kok, aku cuma minta pendapatmu saja tentang diriku, yang agak kemrungsung akhir-akhir ini.” Jelas Haidar ke Rozak sambil membetulkan tempat duduknya.
“O… begitu. Memangnya pendapat yang bagaimana yang kauminta?”
 “Begini, Zak, Sampean kan tahu, kalau akhir-akhir ini aku sering merenung sendiri. Bahkan terkadang sikapku terlihat agak sensitif, seperti kemarin itu,” kata Haidar sambil mengangkat bahu.
“Digoda sedikit saja, aku langsung marah, iya nggak?” Tambahnya
“Iya sih, memang aku rasakan akhir-akhir ini kamu agak berbeda dari biasanya. Teman-teman di asrama juga merasa seperti itu. Terus?”
“Sebenarnya aku malu untuk cerita ke Sampean, Zak. Tapi semoga saja dengan cerita, aku bisa menemukan solusi yang pas.”