Rabu, 22 Juni 2011

USTADZAH ERI DALAM DIARY

“Zak, Sampean ada waktu nggak?” Tanya Haidar ke Rozak, sesaat setelah mereka selesai takror.
“Sekarang?” Jawab Rozak balik bertanya.
“Iya sekarang!!!” Haidar mengangguk.
“Kalau sebentar sih ada, soalnya jam dua belas nanti aku harus ke makam.”
“Kalau begitu ke kantin yuk, kebetulan aku sedang ada rezeki, sekalian aku mau cerita.”
“Cerita? Cerita apaan?”
“Yah pokoknya cerita.”
“Ya udah di sini saja ceritanya.”
“Eit, jangan di sini donk! Di kantin saja sambil ngopi yuk?” Tawar Haidar.
“Oke, ayolah...” Jawab Rozak dengan semangat sekaligus mengakhiri obrolan mereka di kamarnya.
Kamar nomor 3 di asrama Al-Ghozalie yang sangat sederhana. Lantainya hanya beralaskan karpet plastik berwarna merah yang juga sekaligus dijadikan alas tidur. Tak ada bantal dan selimut. Seperti inilah kehidupan santri Pondok Pesantren Ummul Quro’, meskipun penuh dengan kesederhanaan tetapi tidak mengurangi semangat mereka untuk menggali mutiara-mutiara keilmuan pada para Kiai dan Guru-guru.
Haidar dan Rozak berjalan menuju kantin. Jika dihitung dengan jam, kemungkinan hanya butuh waktu 3 menit untuk sampai di warung pondok tersebut. Kantin masih sepi, hanya beberapa santri yang terlihat karena memang bertugas jaga. Mereka berdua jadi lebih lelusa untuk memilih meja. Haidar memilih meja paling ujung yang sepi dan dekat jendela. Kantin tersebut bangunannya pendek sehingga jika waktu-waktu jam jajan santri, ruang penuh, maka suhu udaranya meningkat dan membuat gerah. Maklum, belum punya alat pengatur suhu, sehingga kebanyakan santri yang berkunjung akan memilih tempat yang dekat dengan AC, yang kepanjangan bahasa Jawanya Angin Cendela.    
“Sampean kopinya apa, Zak?” Tawar Haidar.
“Aku nggak ngopi, teh manis aja.” Jawab Rozak.
Yo wis nek ngono, Kang, teh manis sama coffeemix satu. Pakai gelas kecil aja ya...!” kata Haidar kepada santri yang menjaga kantin.
Nggih, Kang, sekedap.” Balas santri tersebut dengan bahasa Jawa yang ramah.
“Sampean nggak makan, Zak?” Tawarnya lagi.
“Nggak ah, masih kenyang. Ini aja.” Jawabnya. Tangan kanannya mencomot sepotong gorengan di piring.
“Kok ngupat-tahu begitu, ada yang penting ya?” Rozak kembali mengarahkan ke maksud dan tujuan Haidar yang tiba-tiba mengajaknya ke kantin.
“Ah, enggak kok, aku cuma minta pendapatmu saja tentang diriku, yang agak kemrungsung akhir-akhir ini.” Jelas Haidar ke Rozak sambil membetulkan tempat duduknya.
“O… begitu. Memangnya pendapat yang bagaimana yang kauminta?”
 “Begini, Zak, Sampean kan tahu, kalau akhir-akhir ini aku sering merenung sendiri. Bahkan terkadang sikapku terlihat agak sensitif, seperti kemarin itu,” kata Haidar sambil mengangkat bahu.
“Digoda sedikit saja, aku langsung marah, iya nggak?” Tambahnya
“Iya sih, memang aku rasakan akhir-akhir ini kamu agak berbeda dari biasanya. Teman-teman di asrama juga merasa seperti itu. Terus?”
“Sebenarnya aku malu untuk cerita ke Sampean, Zak. Tapi semoga saja dengan cerita, aku bisa menemukan solusi yang pas.”

“Amin. Semoga saja begitu. Ya udah, langsung saja.”
“Begini, Zak. Sebetulnya yang mempengaruhi sifatku akhir-akhir ini adalah karena aku sedang jatuh cinta. Tapi Sampean tahu sendiri kan kondisi kita itu bagaimana?”
“O begitu, kirain ada apa, ternyata jatuh cinta to? Hehehe,” komentar Rozak sambil nyengir kuda.
“lha terus dengan siapa kamu jatuh cinta? Anak banat sini ya?” Tanya Rozak penuh selidik.
“Iya, dia anak Banat sini, bahkan seniornya,” jawab Haidar menunduk malu.
“Maksudmu?!!” Rozak melotot kaget.
“Dia itu seniornya Banat alias ustadzah.” Haidar mengangguk meyakinkan jawabannya.
“Whaat? Nggak salah dengar kan? Masak seleramu ibu-ibu?! Kalau begitu sama dengan naksir ibumu, dong?” Rozak makin histeris.
“Ssst.... Jangan keras-keras!  Nanti terdengar orang-orang...” Kata Haidar sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir.
“Hehehe... Sori sori... Habisnya kamu ada-ada saja, sih, masak jatuh cinta sama ustadzah? Nggak ada yang lain apa?” Ledek Rozak.
“Tapi dia lain, kok. Kukira usianya masih sepantaran dengan kita, kalaupun lebih tua paling-paling hanya terpaut satu tahun atau dua tahun.” Balas Haidar
“Ooo. Kalau begitu siapa dia?”
“Dia itu...  emm... Paling-paling kamu  sudah kenal. Dia itu dari Jawa Tengah. Namanya Bu Eri.”
“Hah?? Bu Eri?!” Rozak melotot lagi.
“Iya, Bu Eri. Memangnya ada apa to?” Dahi Haidar mengkerut .
“Enggak sih.., cuma denger-denger dia itu kan calonnya Gus Najmuddin yang dari pasuruan itu.” Tambahnya.
“O begitu, kalau itu sih aku juga sudah tahu, tapi aku juga denger kok kalau mereka itu sudah putus.”
“Putus?!” Rozak terkejut.
“Iya!” Haidar menganggukan kepala. Meyakinkan.
“Masak sih? Beritanya shahih, nggak?” Rozak bertanya memastikan.
“Insyaallah, rowinya adil dan dapat dipercaya.”
“Memangnya siapa yang bilang begitu?”
“Gus Adnan yang bilang, pas kemarin, pas kita ngobrol-ngobrol.”
“O, begitu, tapi saranku, kalau kamu bener-bener pengen maju, kamu tunggu dulu sampai mutawatir. Nah, kalau rowinya sudah bertambah banyak, baru kamu maju.”
“Tapi pendapatmu bagaimana tentang dia.”
“Emmm... Menurutku sih, ada beberapa kemungkinan yang harus kamu hadapi kalau kamu benar-benar ingin maju.”
“Kemungkinan?!” Tanya Haidar.
“Betul.“ Jawab  Rozak sambil menganggukkan kepala.
“Kemungkinan apa saja?”
“Begini, yang pertama, dia itu seorang ustadzah, tentu kamu tahu sendirikan resikonya.”
“Terus?”
“Yang kedua, dia itu pernah disakiti, tentunya dia itu pasti akan lebih selektif untuk memilih cowok, karena sebagai manusia normal, tentunya dia tidak ingin terjatuh dalam lubang yang sama.”
“O, begitu, oke, aku paham. Terus?”
“Nah yang terakhir ini yang paling penting. Dia itu adiknya ustadz Syamsudin, idola kamu.’’ Kata Rozak sembari mengangkat jari telunjuknya.
“What...? Masak sih? Aku kok baru dengar ya?!’’ Lagi-lagi Haidar terkejut.
“Ya, begitulah. Bagaimana? Masih mau maju?” Tantang Rozak pada sahabatnya.
“Emm... Bagaimana ya?’’ Haidar mengerutkan dahi. “Tetapi kayaknya mau tak mau memang harus seperti itu kenyataan yang harus kuhadapi.” Tambah Haidar percaya diri.
“Begitulah.” Sahut Rozak tenang.
“Eh sebentar ya, Sampean nikmati dulu aja, aku bayar dulu.”
Haidar beranjak menuju kasir. Beberapa meter tak jauh darinya tampak beberapa santri yang sedang berhalaqoh dengan kelompoknya masing–masing. Mereka membicarakan segala tema yang bisa dijadikan bahan obrolan. Masalah pelajaran, oganisasi, cewek, bahkan kejung pun tak luput dari obrolan mereka. Seperti itulah suasana kantin pondok pesantren, satu-satunya tempat bersantai dan nongkrong sebentar bagi para santri.  Meskipun bangunanya sangat sederhana, namun selalu penuh keceriaan.
Pinten, Kang, sedanten?” Tanya Haidar kepada santri penjaga kantin.
Nopo mawon, Kang?”
“Teh satu, coffeemix satu. Gorengannya lima.”
“Semua jadi enam ribu, Kang!”
Setelah membayar jajanannya, Haidar kembali menghampiri Rozak.
 “Sudah, Sampean nikmati dulu aja,  aku masih ingin ngobrol kok. Kan masih ada waktu setengah jam...” kata Haidar pada Rozak.
“Iya iya, aku juga santai, kok.”
“Eh sekarang kalau menurut pendapat Sampean, pacaran dalam konteks Islam itu bagaimana?” Haidar membuka tema obrolan baru. Meski sebenarnya arah pembicaraan masih pada perasaannya terhadap Ustadzah Ery.
“Emm... begini, sebelum kita membahas tentang pacaran alangkah lebih baiknya kalau kita membahas tentang cinta terlebih dahulu. Karena dengan begitu kamu bisa mengukur kadar cinta kamu itu seperti apa. Bagaimana?” Rozak menanggapi dan menawarkan tema yang lebih menarik.
“Ya sudah. Kalau begitu sekarang pendapatmu tentang cinta itu bagaimana?” kata Haidar.
“Begini, seperti yang sudah kamu ketahui, kalau cinta itu berbeda dengan nafsu. Karena nafsu tidak memiliki unsur keikhlasan sedikitpun di dalamnya, sedangkan menurutku, cinta itu tulus, yang tak punya tendensi apapun di dalamnya. Jadi kalau istilah sederhananya cinta ya cinta bukan karena ini dan itu, dan esensi cinta itu hanya kepada Tuhan. Sedangkan keberadaan cinta itu sendiri memang sudah mejadi fitrah dari Tuhan. Jadi sudah menjadi nas-Nya kalau kita saling mencintai antara satu dengan yang lain. Karena kalau dipikir-pikir, kenapa kita diciptakan berwujud laki-laki dan perempuan? Kok tidak perempuan saja, atau laki-laki saja, begitu...” Rozak menyampaikan pendapatnya panjang lebar.
“Emm... Iya juga sih. Terus?” Haidar mengiyakan kata-kata sahabatnya.
“Nah, terus... kalo cinta kamu sudah bisa seperti itu, insyaallah itulah cinta yang sebenarnya. Dan selanjutnya, terserah kamu.” Rozak tersenyum.
“Lho... kok begitu? Maksudnya bagaimana kok terserah aku. Lha terus masalah pacarannya bagaimana?” protes Haidar. Kali ini ia seperti junior Rozak yang butuh dibimbing berkali-kali.
“Haidar, Haidar, masak masih harus diberi tahu terus, kreatif sedikit kenapa? Berarti benar kata orang, kalau cinta itu terkadang membuat orang menjadi bodoh. Sebab akalnya dikalahkan oleh perasaannya. Bukktinya ya.. kamu itu. Biasanya selalu think smart. Di kelas selalu paling cepat menangkap pelajaran. Giliran lagi jatuh cinta, kayak anak kecil yang harus dituntun-tuntun. He he he.“ ledek Rozak habis-habisan.
“Sudah, sudah ah, malah ngalor ngidul gak karuan. Sampean itu tidak memberi solusi tapi malah meledek. Tapi, ngomong-ngomong bener juga ya. Tiba-tiba saja aku jadi terlihat bodoh di depan Sampean, padahal biasanya kan Sampean yang aku pecundangi. Hi hi hi.”  kata Haidar sambil garuk-garuk kepala,  meringis seperti pada saat ia ketahuan kentut di depan santri-santri putri.
Rozak semakin terbahak-bahak melihat ekspresi wajah sahabatnya yang culun. Tawanya membahana, sampai-sampai seisi kantin menoleh ke arah mereka berdua. Tapi memang dasar Rozak bermuka bemper dan berkepala gerobak. Meskipun sudah dilerai untuk menurunkan suara tawanya, tetap saja ia berkelekar tanpa dosa. Haidar tolah-toleh menahan malu di antara para santri yang memperhatikannya.
“Sudah to, Zak, tertawanya. Gak enak sama teman-teman tu, kayak orang gendeng saja. Maksud Sampean tadi gimana, kok terserah aku?”
“Sebentar.” Jawab Rozak santai.
Ia mengambil gelasnya yang  tinggal berisi beberapa sentimeter saja, cukup beberapa teguk untuk membasahi tenggorokanya sekaligus menetralkan emosi tawanya.
“Begini maksudku, sebenarnya ya tinggal kembalikan ke diri kamu sendiri. Kira-kira kadar cinta kamu itu sudah seperti tadi apa belum. Kalau sudah, berarti kamu bisa melangkah ke tahap selanjutnya yaitu ta‘aruf. Dan yang  perlu diingat, di dalam Al-Qur’an ada perintah Allah yang bunyinya walaa taqrobuzzina, janganlah kamu dekat-dekat dengan zina. Apalagi berzina, mendekati saja tidak boleh gitu loh...” ucap Rozak bersemangat.
Haidar mengangguk-angguk seolah memahami perkataan sahabatnya.
“Ya, ya, ya. Aku sekarang jadi paham, Zak. Tapi ngomong-ngomong sebenarnya Sampean itu punya cinta nggak to, Zak ? Atau munggkin naksir seorang cewek gitu. Soalnya kulihat dirimu itu adem-ayem saja, tidak seperti anak-anak yang lain.” Kata Haidar.
Ia penasaran pada temannya yang satu itu. Meskipun mereka sudah bersahabat cukup lama, tetapi Haidar tidak begitu mengerti kehidupan pribadi Rozak. Sahabatnya itu memang pendiam dan agak tertutup, sehingga ia tidak berani menanyakan hal-hal pribadi Rozak.    
“Wahaha, Haidar  Haidar, aku ini juga manusia. Aku ini juga normal seperti kamu.” Rozak tertawa lepas.
“Jadi?...“ tanya Haidar pebuh selidik.
“Ya jelas. Kalau cinta ya pasti aku punya. Masak manusia nggak punya cinta, kambing saja yang hewan punya cinta. Iya nggak?“ Sahut Rozak dengan nada cengengesan.
Keduanya tertawa.
“Kalau soal naksir cewek, aku jauh lebih lama sebelum kamu,” lanjut Rozak setengah berbisik.
“Siapa dia?“ tanya Haidar bersemangat. Penasaran.
“Besok saja ya! Atau, kapan-kapan saja aku ceritakan.” Jawab Rozak seraya bangkit dari duduknya.
“Kenapa nggak sekarang saja?” Haidar mengejar.
“Ngaak ah. Aku sudah lelah. Lagian kisahku sudah hampir hissoh dua belas. Kalau aku cerita sekarang, waktunya tidak cukup. Hehe...” Rozak menanggapinya dengan santai. Tak lama kemudian, mereka pun beranjak meninggalkan kantin. Keduanya kembali ke asrama masing-masing.
Hari berganti. Waktu berlalu. Haidar sering kali menghabiskan waktu untuk merenungkan apa yang sempat diobrolkannya dengan sahabatnya, Rozak.  Dan malam itu, ia memutuskan untuk menunda segala keinginannya. Cinta adalah sesuatu yang sangat istimewa. Untuk merengkuhnya butuh bekal dan persiapan sehingga benar-benar bisa mencapainya. Ia harus menjadikan dirinya layak untuk menemuinya orang yang dicintainya kelak. Dia seorang ustadzah, sedangkan ia masih santri biasa. Ia mencoba mengukur rasa dalam hatinya dalam buku harian saja.
Untuk engkau yang di seberang sana.
Telah lama hatiku terpaut oleh pesona wajahmu, yang menjadikan hari-hariku dipenuhi kegelisahan dan penderitaan. Bahkan pernah terbersit di dalam hatiku untuk melemparkan sauh cinta ke dermaga hatimu. Tetapi, akhir-akhir ini baru aku sadari ternyata cintaku tak sebening embun pagi yang bisa selalu memberikan kesejukan. Juga tak seikhlas mentari yang selalu memberikan kehidupan. Kini aku masih takut untuk meneruskanya, karena aku tak mau diperbudak oleh nafsuku. Engkau yang di seberang sana, leburlah dirimu dari ingatanku. Jadilah kenangan seiring dengan berhembusnya angin yang akan kuhirup di hari-hari esok. Dan aku akan menegakkan kepalaku untuk menatap masa depan.
Bulan sabit di balik jendela beringsut menghilang, tertutup mendung yang pelan-pelan datang. Redup. Seredup hati Haidar yang merasa belum saatnya meraih rembulan.

Tremas, 21 april 2011
Penulis: Ghulam al-Achsani Assamronji
Editor : Pijer Sri Laswiji
Admin: Moch. Mahrus 

2 komentar:

  1. Kok nama penulis cerpennya tidak ada identitas pribadi ya? Siapakah Ghulam itu? Pembaca ingin tahu dongsss..

    BalasHapus
  2. Sayang, sepertinya penulis lebih senang hanya dengan menggunakan nama pena saja. Naskah ini hanya dikirim tanpa identitas asli...

    BalasHapus

Sampaikan pesan singkatmu di sini.